Sabtu, 07 Agustus 2010

satu potret


tercipta dari kondisi suatu sekolah...

Nyanyian Kosong...

Dimana cahaya yang kau tawarkan?...
Dimana?...
Aku datang bukan untuk memberi membentuk
Tapi untuk belajar tentang belajar dan belajar tentang membentuk.

Dimana isi yang kau tawarkan?
Semua terasa hambar menyedihkan,

fashion show?
Ah,kupikir ini bukan tempatnya.
Hair Style?
Ah, kupikir ini bukan salon kecantikan.
Cari pasangan?
Alahmak!...
Air mata terasa hendak membuncah menyapa kerontangnya halaman, berdebu.

Mungkin...
Ini kebaikan yang mereka tawarkan.
"sama-sama baik untuk sebuah kebaikan"
kebaikan palsu,pikirku!
tapi aku diam tak berontak karena hanya akan terpijak.
yah! aku hanya musafir
musafir yang ingin hendak banyak membaca untuk bisa melakukan sesuatu yang bermanfaat.
Katanya ini adalah syaratku agar kelak ku bisa menjadi guru.

Syukurlah saat ini dapat kubaca terntang
Arti akhlakul karimah
Tentang konsep mencari jati diri
Tentang arti kebebasan
Tentang arti kemanjaan
Tentang pentingnya arah hidup
Tentang kepedulian
Tentang cinta.
Yah! cinta.
Semua bermuara pada cinta sedang cinta
Terkadang tak terpelihara...

huh!

Rabu, 28 Juli 2010

Puisi-puisiku


Kalau Hujan Turun

Kumpulan Debu bergumul
pecah-pecah tanah jadi lukisan
ranting-ranting kehilangan daun
air bersembunyi di relung bumi
semua akan pergi merintih
kalau hujan turun


Hilang

puing-puing kata basah
bertumpuk di udara
riuh digendang telinga
teramat sangat menyesak dada
dimana dia?
seakan ditelan keangkuhan


Seuntai Keluh

Aduh...
selembar papan bertulis
dipaku di tubuhku
lama hingga berkarat
menyayat ulu hatiku

aduh...
dia tersenyum lega telah melapis tubuhku
untuk memuaskan tubuhnya dan tubuh anak istrinya
tapi mengapa...
tangisku tak dirasa?

aku...
meneduhi tubuhnya dipinggiran berdebu
tapi tidak ada perhatian untukku
tapi aku tak disayangi
jangan diasalah jika aku marah!



sempat dimuat di Medan Bisnis.

Aisyah Pak Supi

Bulan bertengger di atas menara Masjid Asy Syukur. Awan-awan tampak riang mengelilinginya. Seakan mereka ingin menyampaikan kepadaku tentang kebahagiaan mereka pada malam ini. Hangat memadu kasih. Tidak seperti aku yang semakin kedinginan. Aku kian meringkuk dalam dekapan Aisyah. Entah mengapa malam ini aku merasakan dingin yang sangat menusuk dibandingkan dengan malam-malam sebelumnya. Ditambah dengan jeritan perut, hatiku semakin terenyuh. Betapa aku sangat sulit mengurus diri sendiri, apalagi jika Aisyah..., ah! Sudahlah.

Aku harus menikmati hidup ini. Aku tak ingin menjadi orang kaya harta. Karena kekayaanlah yang membuat aku dan Aisyah...ah! sudahlah. Aku kembali memejamkan mata. Aku ingin melupakan dingin yang memeluk erat diriku. Menyelam mimpi-mimpi indah yang sudah disiapkan Tuhan untukku. Huh...


Aku tak ingin menjadi pengemis. Oleh sebab itu aku bersama Aisyah tak boleh menyerah menjalani hidup ini.Kami mengarungi Garu I dengan harapan diantara banyak manusia akan ada manusia yang tertarik pada Aisyah. Dengan demikian aku bisa sarapan enak pagi ini. Semoga....

Tapi hampir jam sepuluh, mengapa tak ada orang yang tertarik pada Aisyah? Apakah mereka tidak suka dengan penampilan Aisyah? Tapi harus bagaimana aku mengubah penampilan Aisyah? Aku tak punya uang untuk merawat penampilannya. Seperti inilah yang aku bisa dan aku pikir penampilan bukanlah segalanya yang penting adalah pelayanannya. Meskipun kerudung Aisyah warnanya sudah gelap. Bahkan terkesan jorok tapi sebenarnya dia bersih dan mampu melindunginya dari panas matahari. Andaikan hujan, aku juga sudah menyiapkan plastik.

Aisyah tampak semak karena semua barang yang kumiliki aku pinta padanya untuk menggendongnya. Aku tak punya pilihan lain. Hanya dialah teman sejati dan tumpuan hidupku. Tanpanya aku tak mengerti bagaimana hidupku di kota Medan ini. Aku sempat menumpang hidup pada temanku. Tapi aku tahu dia merasa risih dengan keadaanku. Terlebih dia harus mengurusi istri dan anaknya. Dia tak pernah mengusirku. Bahkan dia sangat baik kepadaku. Tapi aku adalah orang yang tak mau selalu menjadi beban untuk orang lain. Aku putuskan untuk tidak lagi menumpang di rumah itu.

Matahari terus mendaki hari. Kini ia berada di atas kepalaku. Aku semakin lapar. Tapi aku tak mau memaksa orang untuk tertarik pada Aisyah. Aku hibur diri ini dengan radio yang kumiliki. Dendangan lagu Rhoma cukup menghiburku. Melupakan rasa lapar yang kualami. Aku dan Aisyah di depan gang Garu I menunggu orang-orang tertarik pada Aisyah. Kuselipkan beberapa bunga disekitar wajahnya agar orang melihat dan tertarik. Tapi lama sekali orang tertarik padanya.

Harumnya ubi goreng menyeretku untuk meminta kepada si penjual kue itu. Perutku kini benar-benar merintih. Walau sebenarnya Aisyah tak setuju, tapi aku sudah tak tahan lagi. Aku melangkahkan kaki menuju penjual kue itu. Aku minta sepotong ubi goreng. Penjual itu memberiku. Aku sangat berterimakasih padanya. Entah sudah berapa kali aku meminta kue padanya. Nyaris setiap pagi. Tapi dia selalu memberiku. Berbeda dengan pejabat. Kalau kubaca di koran. Mana ada pejabat yang mau berbagi, karena mereka tak pandai bagi-bagi tapi mereka mahir kali-kali pada matematika hidupnya. Ah...sudahlah!

Kunikmati sepotong ubi goreng itu. Tanpa kusadari ada seorang mahasiswa yang dari tadi memperhatikanku. Wajah anak lelaki itu tak asing bagiku. Aku sering melihatnya di pelataran Masjid Asy Syukur usai shubuh. Mahasiswa itu menatapku penuh iba dan sepertinya dia tertarik melihat Aisyah.

”Ah, anak muda aku tak perlu kau kasihani tapi sewalah Aisyah” harapku dalam hati. Aku dan Aisyah mendekatinya. Semoga dia akan tertarik pada Aisyah.
”Ikut?” aku menawarkan Aisyah.
”Oh gak pak!” dia tersenyum sambil menggelengkan kepala.
”Mau kemana?” kejarku.
”Mau pulang pak, ke STM Hilir...” dia melongok ke arah Simpang Limun. Kini aku baru sadar ternyata dia sedang menunggu angkot. Hah! Ternyata dia tak tertarik pada Aisyah. Tak lama A15 muncul ditengah riuhnya bunyi klakson. Dia berpamitan. A15 membawanya ke tujuan, meninggalkanku disini bersama Aisyah dengan segumpal harapan yang entah kapan terwujud.

Walau bagaimana, roda kehidupan harus terus berputar. Harapan adalah sesuatu yang mungkin menjadi nyata jika aku sungguh-sungguh menggapainya. Namun harapan hanya akan menjadi sekedar harapan ketika aku tak pernah berusaha mewujudkannya. Aku dan Aisyah terus memburu rupiah untuk melanjutkan desah napas yang tak boleh terputus. Walau sebenarnya aku sudah ‘mati’ tapi ada yang harus tetap hidup. Untuk itu aku dan Aisyah harus terus memburu rupiah karena dengan rupiah hidup bisa kupertahankan walau rupiah bukanlah segalanya, itu menurutku tapi entah kalau menurutmu.

Ah...akhirnya ada juga yang tertarik dengan Aisyah. Seorang lelaki necis menghampiri Aisyah. Kuizinkan lelaki itu menyentuh Aisyah dan menaikinya. Aku akan menikmati nasi bungkus yang sangat jarang bisa kunikmati, pikirku. Untuk menikmati nasi bungkus harus ada tujuh orang yang tertarik dengan Aisyah dan menaikinya. Aisyah pun dengan suka rela melakukan itu. Hasil dari usaha kami akan kusisihkan separuh untuk kutabung dan selebihnya bisa untuk makan siang.

Untuk makan malam juga harus melayani lebih dari tujuh orang. Tapi aku tak bisa memberikan perawatan yang layak utuk Aisyah dan salutku Aisyah selalu mengerti tentang keadaanku. Dia tak banyak menuntutku. Namun sangat sulit kudapatkan tujuh orang itu karena banyak saingan dan terkadang Aisyah kelelahan sehingga aku harus memompa semangatnya. Bahkan terkadang aku harus menambal luka di kakinya agar ia tetap bisa berjalan dan menyambung napasku.
Matahari menjemput rembulan. Rembulan pun menjemput matahari dan subuh ini sangat istimewa bagiku.

Setiap minggunya di Masjid Asy Syukur ada pengajian fiqih seusai sholat subuh. Namun yang menarik bagiku selain mendapatkan ilmu gratis juga dapat makanan garatis. Secangkir teh manis dengan sebungkus roti, ah...enaknya. Tuhan memang maha penyayang. Semoga pak BKM tak seperti biasanya, yang tak mau membagi roti sisa untukku.

Seusai pengajian seluruh warga beranjak pulang. Aku sengaja menunggu pak BKM, berharap pak BKM akan memberikan beberapa bungkus roti untukku. Aku berpikir sekarang dia sudah cukup mengetahui keadaanku dan mau memberi sisa roti itu untukku, walau hanya tiga bungkus akan kuterima setidaknya untuk sarapanku pagi ini. Sebagai seorang BKM dia pasti peka dengan deritaku. Cukup lama aku menunggunya. Sayangnya dia berpura-pura tak tahu. Dia berlalu dengan sekardus roti itu. Mungkin dia berpikir roti sisa itu akan lebih bermanfaat jika diberikan kepada isteri dan anaknya. Padahal aku sangat membutuhkannya. Tapi...ah sudahlah!

Sekitar jam delapan aku bersiap-siap mengarungi Garu I. Kutampung air jernih, segar dan sangat alami dari kran. Itulah satu-satunya pengganjal perutku sebelum mendapatkan orang yang tertarik pada Aisyah. Bukan aku tak punya uang tapi uang yang kutabung itu tidak akan kupakai untuk yang lain selain untuk sebuah mimpiku.

Kupakai baju kerjaku, sepotong baju kemeja biasa. Awalnya berwarna hijau tetapi tenggelam dimakan waktu hingga warnanya tak lagi bisa disebut hijau. Gelap, letek dan luntur karena kupakai setiap hari. Aku tak punya pilihan lain. Aku hanya punya tiga baju. Baju batik, khusus untuk sholat lengkap dengan sarung yang warnanya kian pudar. Satu lagi baju kaos oblong, khusus untuk baju tidur lengkap dengan celana yang tak pernah aku ganti. Terkadang aku malu, jika ada yang memperhatikan celanaku. Ada celah diantaranya. Mungkin aku terlalu banyak duduk, pikirku. Aku mencoba menambalnya, sebisaku. Aku tak punya pilihan lain karena aku tak bisa membeli celana baru. Uang yang kuperoleh dari Aisyah lebih banyak kusimpan untuk sebuah mimpiku.

Kubuka, kulipat dan kusimpan selimut biru Aisyah. Kemudian kusegarkan badan ini dan kurapikan tubuh Aisyah. Setelah itu aku dan Aisyah melenggang keluar dari pelataran masjid. Didepan Apotek, aku putar radioku. Satu-satunya alat elektronik yang kumiliki. Saat aku masih
asyik mencari frekuensi, mahasiswa yang sering kulihat di pelataran Masjid Asy Syukur, mendekati Aisyah. Tampaknya dia sangat tertarik dengan Aisyah. Aisyah pun setuju melayaninya. Mahasiswa ini banyak bertanya layaknya wartawan. Aku tak bisa mengelak dari setiap pertanyaannya. Hingga aku terpaksa menjawab semua pertanyaannya. Huh! Tinggal naikin Aisyah saja banyak sekali pertanyaannya, ketusku dalam hati.

”Maaf pak, berapa tarifnya?” dia membuka pembicaraan.
”Biasalah...” kuanggap dia sudah mengerti berapa tarifnya.
”Kalau boleh tahu, siapa nama bapak?” dia mengajakku berkenalan ”Namaku Faisal pak” lanjutnya mengenalkan diri.
”Aku biasa dipanggil Pak Supi...” ujarku, entah kenapa ada perasaan takut di dadaku. Aku takut kalau dia akan menanyakan banyak hal tentang Aisyah. Karena dari pertama kali jumpa dia menatap tajam dan melihat ke seluruh sudut Aisyah. Entah apa yang dipikirkannya. Sesaat dia diam mungkin dia menikmati pelayanan Aisyah. Aku sedikit lega.
”Aisyah ini siapa pak?” dia menatapku penuh harap. Aku menjawabnya dengan jujur. Tapi ternyata dia tak terpuaskan, dia bertanya dan terus bertanya hingga akhirnya aku harus berceritakan semuanya.
* * *
Sejak SMP aku mencintai Aisyah begitu juga dengan dirinya. Kami saling mencintai Sampai kami SMA. Aisyah saat itu memutuskan untuk kuliah. Namun orang tuanya menginginkan Aisyah segera menikah. Aisyah tak mau. Dia mengatakan tentang hubungan kami. Akupun dengan percaya diri datang ke rumahnya dan menyatakan semuanya. Sayangnya kedua orang tua Aisyah tak merestui kami. Dikarenakan aku adalah pemuda yang kere. Aku kecewa berat dengan perlakuan orang tua Aisyah. Mereka menganggap bahwa kekayaan menjamin kebahagiaan. Ini kisah klasik, sering terjadi dalam kisah percintaan. Akhirnya kedua orang tua Aisyah memberiku persyaratan dalam waktu dua tahun aku harus menjadi orang kaya. Ini mustahil bagiku tapi aku terima persyaratan itu.

Setahun sudah aku berusaha. Namun belum juga terlihat hasilnya. Orang tuaku pun sudah mengingatkan untuk menyerah saja. Karena memang menjadi orang kaya dalam waktu dua tahun itu mustahil bagiku. Tapi cintaku pada Aisyah ingin membuktikan bahwa aku bisa. Berbagai usaha aku lakukan. Hingga aku bertemu dengan Hera, anak perempuan dari seorang pengusaha sukses di daerahku. Dari Hera aku mendapat modal usaha. Namun sayangnya hal ini menimbulkan masalah baru.

Hera jatuh cinta padaku dan menginginkan aku menjadi suaminya. Jelas saja aku tidak mau. Disisi lain Aisyah cemburu mendengar aku dekat dengan Hera. Aku pun tak mau kehilangan Aisyah. Aku jelaskan padanya. Dia percaya. Aku tinggalkan Hera. Hera sangat kecewa padaku. Hera pikir aku adalah orang yang tak tau membalas budi. Hera balik menyerang usahaku, hingga akhirnya usahaku bangkrut.

Dua tahun sudah berlalu. Aku gagal menjadi orang kaya. Aisyah sangat sedih melihat kenyataan ini. Tapi tak bisa berbuat apa-apa. Terlebih aku, aku sangat kecewa pada diriku sendiri. Aku datang kerumahnya, bukan untuk melamarnya tapi untuk perpisahan. Aku sangat mencintainya dan tak bisa memilikinya. Aku tak mampu melihatnya bersanding dengan orang lain. Aku putuskan untuk meninggalkannya dan pergi ke Medan untuk mengubur semua kenangan indah bersamanya.

Sesampai di Medan aku hanya bisa menjadi seorang pekerja yang mengutip rupiah dari rasa simpati orang terhadap Aisyah ini. Walau begitu aku masih punya cita-cita untuk membahagiakan ibuku disisa hidupku. Untuk memberiku semangat nama Aisyah kusemat dipunggungnya. Sudah lebih lima tahun aku di Medan. Setiap tahun aku pulang ke Langkat dan membawa sedikit uang untuk biaya hidup ibuku. Aku tak lagi berpikir untuk menikah.

Setiap hari aku menabung untuk kukirimkan pada ibuku. Aku hanya ingin melihatnya tersenyum dan bahagia di hari tuanya. Walau hanya selembar atau dua lembar uang seratus ribu yang dapat kuberi untuk ibuku. Itu sudah merupakan kebahagiaan bagiku. Ini sebagai wujud balas dendamku pada ibu Aisyah yang gila harta dan sebagai rasa marahku pada adik-adikku yang sudah menjadi orang kaya namun lupa pada ibunya sendiri. seperti pejabat yang baru dipilih itu akankah peduli kepada rakyatnya? Ah entahlah...
Bukan aku tak mau menikah tapi aku takut kalau aku menikah aku lupa pada ibuku.
* * *

Faisal mengangguk-angguk mendengar ceritaku. Aku sadar aku salah tapi dia tak boleh sepertiku.
“Kau masih muda, gapailah mimpimu” pesanku padanya.
”Hidup itu akan sesuai dengan inginmu” kuhentikan Aisyah ini.
”Maka jadikanlah hidup penuh makna dan jangan ’mati’ karena sesuatu yang tak sesuai dengan harapanmu” kuterima uang lima ribu rupiah darinya.
”Iya Pak” dia turun dari becakku.”Terima kasih ya Pak” lanjutnya.
”Ini kembaliannya” kusodorkan tiga lembar uang seribu padanya.
”Sudah untuk bapak saja” dia berjalan ditelan gerbang. Aku masih menatapnya dengan nanar.
”Ah... baru saja aku menyampaikan pelajaran hidup untukmu...” gumamku. Lantas kudayung Aisyah menyusuri tepi jalan untuk menyambung napas yang harus tetap berdesah.

***

Aku menarik baju yang hampir terjatuh. Baju yang sebenarnya tak layak menjadi selimutku. Tapi Baju itulah yang saat ini menjadi selimutku.

Dunia KOTAMAYA , Mei 210